“Shi
Sang Chi You Mama Hau” lagu yang begitu legendaris dan terdengar sangat
mengharukan, lagu tsb menginspirasikan kisah berikut ini
Alkisah,
ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria berasal dari
keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan
sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan, tetapi
cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat
sang pria jatuh hati.
Sang
wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan
membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang
tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang
terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak
reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh
yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya,
bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.
Sang
wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita
tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus
berargumen dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya,
sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu,
umumnya seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya).
Sebulan
telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orangtuanya agar
menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal
membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tersebut, yang
menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya.
Sang
pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk
meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun
ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang
pria. Maka ketika saatnya tiba, sang orangtua mengunci anaknya di dalam
kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar.
Sebagai
gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan
sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat
terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian
memohon pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka
satu-satunya. Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat
besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk
kota, reputasi anaknya akan tercemar, orang-orang tidak akan
menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak
mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.
Mereka
bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar
wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya
lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk
membiayai hidupnya di tempat lain.
Sang
wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa
perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak
kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota
ini, tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang
pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke
depan akan sangat sulit?.
Ibu
sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan
sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah
dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari
kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia
kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang
yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu.
Dengan
berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia sudah
memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa
keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah
melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama
dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial
mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk
berpisah.
Tetesan
air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut. Sang wanita yang
malang tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara
moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu, sendirian.
Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia bertekad untuk
melahirkan dan membesarkan anaknya.
Detik
.. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga tahun
telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu.
Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam, untuk
membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di
sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan
menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan
semua pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia
cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak
memungkinkan, karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat.
Tetapi
sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga
tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat
tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus
menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah
menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini,
dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke
sana-sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan
pinjaman.
Saat
diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup
ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri
dari obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi
sang ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya
uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya
tak mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia
kenal, dan belum terbayar.
Ketika
di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk
mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak
permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian. Diantara
tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada
di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur
dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat daging
dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia
mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu
tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak
mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat?..
Hujan
lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu
tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya sendiri.
Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang dilakukan
oleh sang ibu ………… .
Enam
tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan,
cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari
minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama,
dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”
(terjemahannya “Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”).
Sang
anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga
toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari
mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak
terkadang memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam
hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan
biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. Ia juga
tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan
sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya
pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah pemilik
toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu
mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak keperluan
lain yang perlu dibiayai.
Sang
anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia
meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut,
karena ia akan membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya uang?” tanya
sang pemilik toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata sang
anak dengan serius.
Ternyata,
bulan depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan
tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main.
Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana kamu
mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan?”. “Saya tidak mencuri, kakek.
Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang
pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang
dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk
beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan
beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak. Sang
pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut.
Seperti
biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak segera
memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut.
Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan
ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari
mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau
menjawab.
“Apakah
kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin ibu
mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya
berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah
mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu
sudah mengajari kamu tentang hal ini?” kata sang ibu.
Lalu
ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada
anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis,
sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih,
karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya,
demi kebaikan anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para
tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan kemudian prihatin
setelah mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang baik”, kata
salah satu tetangganya.
Kebetulan
sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu
tetangganya yang merupakan familinya. Ketika ia keluar melihat ke rumah
itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia
segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak
berlari ke arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan yang
sebenarnya pada ibunya.
“Nak,
ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh
menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek
itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba
muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam
tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul
siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya.
Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya
pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk
mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya.
Tampak
sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut,
begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak
kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan saya,
Nak.”
“Tidak Bu, saya yang bersalah”
“Tidak Bu, saya yang bersalah”
Sementara
itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya
mandul. Mereka tidak punya anak. Sang orangtua sangat sedih akan hal
ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak. Ketika sang
ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah kesempatan,
mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari
bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia
mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya
hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik
tanpa bantuanmu.
Berita
ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu ingin
melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan.
Di
pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter
mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang
konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang
ibu sudah agak membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis
tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya. Sang ibu kembali
berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat.
Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah,
karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya.
Maka
di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling
kota, bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali,
menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka.
Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam
kegembiraan bersama sang anak. Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan
keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk tinggal bersama
ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu. “Tetapi ibu tidak mampu
membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak apa-apa Bu, saya tidak
perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila
sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang untuk biaya perawatan
saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja lagi, Bu”, kata sang
anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah keesokan
harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat.
Disana
ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat senang
melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak
meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan
kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya,
sang anak menolak. “Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu”, teriak
sang anak dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang
ibu berkata “Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini.
Ayah, kakek dan nenek akan bermain bersamamu.” “Tidak, aku tidak mau
mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang
saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”, sang anak mulai menangis.
Bujukan
demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak
didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu “Kalau
ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada akhirnya,
ibunya memaksa dengan mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi.
Tinggallah disini”, ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah
tersebut. Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang
memilukan.
Di
rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat
hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan
menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan
baik. Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi.
Ia telah kehilangan satu-satunyanya alasan untuk hidup, anaknya
tercinta.
Kemudian
ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat nadinya.
Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin tidak akan
diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk mengetahui bahwa
anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh diri itu
dibatalkan, demi anaknya juga……….
Setahun
berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja yang
lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani
perawatan medis secara rutin setiap bulan. Seperti biasa, sang anak
ingat akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan
mudah, tanpa perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada hari
tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia segera
naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang memakan waktu
beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk
surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan
selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan
memberikan semuanya untuk ibu.
Sang
anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya.
Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah kosong.
Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu kemana
ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di
depan rumah tersebut, menangis “Ibu benar-benar tidak menginginkan saya
lagi.”
Sementara
itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah terlambat
pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan
semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi tidak ada
kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat
terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.
Ketika
sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari
ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya.
Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik
mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu
ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat
anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca
tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu.
Hari
mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa
mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu
membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis
ia memohon agar bisa menemukan anaknya.
Seperti
mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya
pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah
berkata, bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi
Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat
kamu baik. Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil
tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.
Benar
saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan, demamnya
tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke
rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga,
dan berguling-guling jatuh ke bawah……….
Sepuluh
tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia
sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh
dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak
menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya
nihil.
Siang
itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan
teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di
persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang
mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia
tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia
tampak berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan
mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri pengemis tua itu.
Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta
sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian
melihat anakku?”. Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa
disadari, ia segera menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan
suara perlahan, tak disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya
dengan suara lemah. Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal
suara ibunya yang selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang
anak segera memeluk pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu?
Ini saya ibu”.
Sang
pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu
bertanya, “Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu, saya adalah anak
ibu?”. Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur
membasahi bumi …………… .
Karena
jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi hilang
ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus mencari
anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang
menganggapnya sebagai orang gila.
Perenungkan untuk kita renungkan bersama-sama:
Dalam
kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu bahkan
rela mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa keputusasaan
berikut ini, di saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua :
1. Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
Diantara
orang-orang disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I kandung
Anda, diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela
mengorbankan nyawanya untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara
apapun ………..
Tidak
diragukan lagi “Ibu kita adalah Orang Yang Paling Mulia di dunia
ini”. Ingin bergabung dalam sebuah MISI
MULIA ? Ada 2 tindakan yang dapat Anda lakukan :
1.
Bila Anda beruntung (Ibu Anda masih ada di dunia ini), ajaklah ia
untuk keluar makan atau jalan-jalan MALAM INI JUGA. Jangan ditunda2.
Bila Ibu Anda tinggal di tempat yang terpisah jauh dengan Anda,
telponlah dia malam ini juga, just to say “hello”. Catatlah hari ulang
tahunnya, rayakan, dan bahagiakanlah dia semampu Anda. Hidangkan
makanan favoritnya, dan seterusnya.
2.
Kirimkan kisah film ini kepada saudara/i Anda, teman2 Anda, maupun
rekan-rekan kerja Anda (minimal 5, kalau 100 org lebih baik lagi). Bagi
sebagian dari mereka, kisah ini mungkin akan seperti setetes embun yang
menyegarkan jiwa mereka, yang terkadang terlalu sibuk dengan
aktivitasnya sendiri. Anda sungguh berjasa dalam hal ini??
Mom, my beloved. I love you Mom forever in my deep heart. I always missing you Mom ….
Thanks and best regards
Juliver Hutauruk
Juliver Hutauruk
0 komentar:
Posting Komentar